Tuesday, February 14, 2017

Memilih Direktur Utama PT DKI Jakarta, Tbk


Pilkada DKI Jakarta udah tinggal menghitung hari. Eh ga hari ding.. bahkan udah tinggal hitungan jam! Countdown to Feb 15th!!!

Pertarungan paslon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta ini emang heboh pisan. Rasanya udah kaya pilpres aja. Ya kebayang sih, orang-orang yang maju ini adalah tokoh-tokoh berkaliber nasional dan bahkan dengan dukungan para elite politik. Pilkada Jakarta udah bukan cuman sekedar konsumsi rakyat Jakarta aja, tapi juga jadi konsumsi nasional. Gue cuman berharap orang daerah ga jadi lupa sama paslon pemimpin daerahnya sendiri.


Jakarta ini emang kompleks permasalahannya, karena kalo kita ngomongin Jakarta, Jakarta itu ga cuman sekedar 1 dari 33 provinsi di Indonesia aja, tapi Jakarta adalah ibukota dari negara Indonesia. Jakarta sebagai ibukota bisa jadi representasi negara Indonesia dan tentu dong kita ga mau negara kita kalah dengan negara lain. Pastinya kita pengen Jakarta bisa makin maju dan Indonesia bisa makin dipandang juga sama orang asing.

Makanya mengurus Jakarta ini juga butuh orang yang tepat. Kalo aja kita analogikan, paslon gubernur dan wakil gubernur ini layaknya pelamar kerja yang lagi melamar posisi direksi sebuah perusahaan. 

Mengutip istilah pak Anies nih, ijinkan saya (sok-sok-an) menganalisa paslon pilkada Jakarta dalam proses rekrutmen selama kurleb 4 bulan ini.

**

1.  Pasangan Calon Nomor Satu (you know their names lah)


Kalo gue analogikan, calon nomor 1 ini layaknya anak jurusan Sastra Inggris yang lagi coba apply lowongan Dirut Bank. Ga nyambung. Tapi berhubung bapaknya ini pernah menjabat di bank, ya didoronglah anaknya buat ikutan. Ya biasa lah anak kan biasa jadi proyeksi keinginan bapaknya (yang masih ngebet berkuasa). Si mas nomor 1 ini sebenarnya bisa menolak, tapi mungkin mereka menganut budaya wong jowo yang manut aja apa kata bapaknya (Asal Bapak Senang gitu.. eh kaya pernah denger di debat kemaren yak wkwk). 

Namanya juga lulusan Sastra Inggris ya, kebayang pas sesi wawancara. Banyakan ngomong istilah-istilang ngenggres dibanding substansinya. Yang penting goodwill (1). Padahal goodwill itu (setau saya) adalah aset yang kudu di-amortisasi (misal: paten). Saya sendiri bingung maksud goodwill itu apa. Oh.. membangun tanpa menggusur katanya. Tapi kalo goodwill yang dimaksud membangun tanpa menggusur dan orang-orang bantaran kali + pinggir kereta tetap tinggal di sana dengan risiko kecelakaan tinggi.. saya juga jadi tetep bingung sama definisi goodwill-nya.

Yang penting juga katanya kreativitas. Tapi pas diwawancara lebih dalem contoh kreativitasnya, tetep aja ga ada substansi yang bisa dikemukakan. Orang HR sama User kan jadi bingung gimana menilainya. Oh.. katanya bukan menggusur, tapi menggeser (2). Pewawancara kemudian melihat skema "penggeseran" yang diusulkan paslon ini. Kok mirip kaya mainan The Sims ya? Geser sana, geser sini tanpa memperhitungkan bagaimana praktik lapangan yang ril.

Nah, biasanya ada tuh sesi focus group discussion (FGD) pas lagi proses rekrutmen, Sesi FGD adalah sesi dimana para pelamar dikasih sebuah kasus dan bagaimana sang pelamar bisa mengajukan alternatif solusi untuk kasus tersebut. Kebayang ya kalo calon nomor 1 ini lagi sesi FGD. Selain banyak istilah enggresnya, solusi juga mungkin agak sulit untuk tepat sasaran (karena backgroundnya beda). Daripada pusing, udah aja uang yang jadi solusi (3). Karyawan minta kenaikan gaji: KASIH UANG! Karyawan minta tunjangan rumah: KASIH UANG! Karyawan minta tunjangan ke luar negeri; KASIH UANG! Pokoknya kasih uang buat semua... tanpa mikirin gimana kondisi keuangan perusahaan.

Asal semua senang, senyum terkembang. Mau perusahaan bangkrut juga tak jadi soal.

Belum lagi calon nomor 1 ini tidak memperhitungkan resiko korupsi dari program bagi-bagi uangnya. Katanya "pemimpin jangan curiga pada rakyat" (*). Lah pak, menteri lulusan terbaik aja kalah sama gepokan duit, gimana rakyat kecil yang jarang pegang uang banyak? Coba baca-baca lagi materi risk mitigation dari kelas risk management.

Orang HR dan User pun mengernyitkan dahi.

2.  Pasangan Calon Nomor Dua (If you don't know their names.. maaf Anda WNI bukan?)


Yang nomor 2 bisa dibilang seperti dirut yang lagi dinilai ulang sama asesor. Apakah masih layak lagi jadi dirut di perusahaan atau enggak. Apalagi ada omongan dr org HR, ada 2 pasangan nih yang lagi melamar untuk posisi dirut.

Calon nomor 2 ini emang urusannya bukan lagi sm HR rekrutmen, tapi sama User yang jadi Asesor langsung. Bahkan sampe pake 360 degree assessment. Semua stakeholders bener-bener menilai. Sampe omongan pun dinilai. Wah emang gawat sih sama calon nomor 2. Soalnya emang doi kalo ngomong kagak disaring. Yang bener dia bilang bener, yang salah dibilang salah. A adalah A. B adalah B. Jujur. Ga pake pencitraan. Makanya nih, orang nomor 2 ini lagi kena kasus gara-gara omongannya yang.. terlalu jujur itu. Bahwa memang benar banyak oknum yang ngomong politik dengan dalih iman.

Tapi asesor tentu ga cuman sekedar menilai lisan. Mereka juga menilai kinerja. Betapa kita lupa, selama masa kampanye ini, Jakarta itu hujan terus. Ga abis-abis. Sering juga hujannya super deras. Tapi sampai sekarang belum juga kita lihat Jakarta tenggelem seperti saat lampau (4(Red: saya tinggal di area Barat yang biasanya kalo hujan awal tahun, jalan sekitar Lapangan Bola, Pejuangan, Taman Aries udah kaya lautan, tapi sekarang udah ga pernah banjir lagi!!!!).  Bis Transjakarta udah banyak banget armadanya dan koridor pun makin diperluas (memanggil seluruh karyawan Jakarta, can you hear this??). Taman kota (RPTRA) juga makin diperbanyak sehingga Jakarta ga cuman sekedar kota polusi yang ga punya pohon tapi juga menjadi kota yang makin hijau (5). Pemerataan ekonomi juga semakin terasa dengan KJP (pendidikan bisa meningkatkan harkat hidup loh) dan KJS (semua orang bisa dapet akses kesehatan dengan terjangkau) (6). Proyek MRT dan LRT jelas akan dikerjakan dan dikembangkan (7).

Tapi yang terpenting adalah bagaimana calon nomor 2 ini memegang prinsip. Jelas dia teguh pada prinsipnya: Bersih, Transparan dan Profesional. Tekanan yang banyak tidak menggoyahkan prinsip yang dia pegang dari sejak jaman masih menjabat anggota DPR: untuk anti pada praktik KKN (8). Mengatakan benar untuk hal yang benar, dan salah untuk hal yang salah. Berani pegang prinsip pada demokrasi meski mengharuskannya untuk keluar dari keanggotaan partai (9). Teguh pada prinsip untuk mengadministrasi keadilan sosial meski pesaing berusaha merebut suara dengan bagi-bagi uang.  

Kalo kamu perhatiin dari video-video jadul, calon nomor 2 ini omongannya sama ampe sekarang. Blas sama. Ini artinya, sebagai pemangku kepentingan, koko yang satu ini berintegritas dan tak goyah dibawah tekanan. Menjadi poin penting sekali bagi tim asesor.

User pun ga dibuat garuk-garuk kepala deh.

3.  Pasangan Calon Nomor Tiga (Of course you know their names)


Calon gub nomor 3 ini sebenarnya bisa dibilang pujaan banyak naq muda di Indonesia. Siapa sih yang gatau gerakan Indonesia Mengajar? Urun Tangan?

Tapi kalo kita lihat dari kacamata rekrutmen, calon nomor 3 ini agak nyeremin. Jawaban hasil psikotes kok beda sama hasil wawancara. FGD pun juga beda lagi (hayoloh). Waktu lagi psikotes, terlihat grafik kepemimpinannya kok baguus sekali. Cocok jadi sosok yang menginsipirasi. Tapi pas dikorek lebih dalem pas interview panel... walah kok beda. Ketegangan dan tekanan saat interview panel kan pasti lebih tajem tuh dibanding saat ngerjain psikotes, nah ternyata si bapak ini ga tahan sama tekanannya (atau mungkin memang baru terlihat karakter aslinya pas interview? idk).

Mungkin yang ada di pikirannya "Orang-orang yang mengutus saya sampe ke sesi ini pengen saya lolos dan diterima.. belum lagi saya pun juga ngebet banget ambil jabatan ini" jadi wes semua prinsip-prinsip yang dipegang pas psikotes, dilepas semua. 

Kalo dulu, semua bisa menjadi penggerak bangsa, terlepas apapun keyakinan yang dianut dan ras yang dimilikinya.. oh sekarang udah ga bisa. Kalo dulu, orang baik pasti didukung orang baik.. oh sekarang berbeda (9). Kalo dulu, sentimen agama bisa merusak tenun kebangsaan.. oh sekarang sah-sah aja bermain di ranah iman (10).

Intinya, ganti-ganti prinsip itu sah-sah aja. Wah padahal bahaya tuh kalo dalam jabatan tinggi bisa semudah itu mengganti prinsip. Kalo misal perusahaan berprinsip memakai sistem ramah lingkungan dalam mengurus limbah, tapi karena dirutnya tergiur dengan profit, berarti bisa dong mereka mengganti sistem dengan yang tdk ramah lingkungan? Andaikan perusahaan berprinsip untuk terus melakukan CSR tapi lagi-lagi karena tergiur dengan profit maka CSR bisa dong dibatalkan, dan masyarakat ga lagi menerima imbal positif dari kehadiran perusahaan tersebut di lingkungannya. Sebagai seorang pemangku kepentingan, prinsip itu penting, dan kekeuh dengan prinsip juga sangat penting. Orang yang gampang berubah prinsipnya itu ga bisa jadi pemegang jabatan tertinggi. Apalagi yang ga sanggup tetap teguh dengan prinsip karena pengaruh tekanan. Dirut mah kudu sanggup, makanya banyak pada botak kan (wkwk)

Lain lagi saat FGD. Sebelumnya saat seleksi administrasi dilihat CVnya. Wah lulusan luar negeri nih. Mantan pemimpin organisasi skala nasional. Inisiator gerakan nasional. Lah tapi pas FGD, ketika kasus transportasi mencuat, usulannya banyakin subsidi angkot (11). Gimana tah? Masa Jepang, Singapura, dan negara maju lain udah punya MRT-LRT, kita masih ngangkot muter-muter komplek? Trus lagi saat kasus FGDnya tentang kemacetan malah membatasi mobil mewah (12). Padahal yang muter-muter di jalanan mereknya Avanza-Xenia bukan Lamborghini-Ferari. Biar jadi efek kejut katanya? Orang HR jadi garuk-garuk kepala deh.

Tambah lagi ketika sesi lanjutan FGD tentang perumahan, usulannya adalah beri rumah dengan DP 0% (13). Wah, lahan Jakarta padetnya udah kaya lapis legit. Gimana bisa ketemu lahan besar untuk penduduk Jakarta yang lebih banyak dari negara Singapura ini? Belum lagi usulan DP 0% membuat cicilan makin besar. Nyicil rumah susun aja udah engap, apalagi nyicil rumah. Belum lagi resiko meningkatnya besaran NPL.

User jadi bingung kok CVnya beda sama jawaban FGD ya? Pegangan deh usernya karena bingung.

**

Intinya, wahai rakyat Jakarta, pilihlah untuk kebaikan kota, bukan hanya untuk kebaikan kantong kamu. Pilihlah untuk kemajuan bangsa, bukan hanya untuk kemajuan golongan kamu.

Dan jangan golput ya.

Karena suara kamu menentukan 
apakah KJP & KJS dilanjutkan atau tidak,
apakah Jakarta mau tetap kering seperti sekarang atau tenggelam seperti waktu lampau,
apakah Jakarta bisa diperbaiki untuk menjadi kota yang nyaman huni atau tidak.

Karena suara kamu menentukan terselesainya pembangunan kota Jakarta.